Tuesday, June 8, 2010

indah nya berbedaan

Kau berkulit hitam, keriting, tinggi, bermata cokelat, tak pernah memilih terlahir dari rahim yang mana, dimana, dan dari etnis apa. Lalu, emosi, kesadaran, nalar dan rasamu tumbuh merambati pengalaman dan pengajaran yang menghampirimu. Bila lantas kau memilih untuk memeluk suatu agama. Itu pilihanmu. Itu hakmu.

Aku berkulit putih, rambut lurus, bermata hitam. Juga tidak pernah memilih terlahir dari rahim seorang bernama Khadijah, di sebuah kota tepian laut, dan dari keluarga dengan keyakinan Islam yang teguh. Maka, emosi, kesadaran, nalar, rasaku tumbuh merambati pengalaman dan pengajaran Islam yang menghampiriku. Bila lantas aku terbentuk dan terbangun menjadi seorang Musilm. Itu pilihanku. Itu keyakinanku. Dan, semua orang berhak memiliki keyakinannya masing-masing bukan?

Kau tak bisa memaksaku untuk menyerupaimu, aku pun begitu. Kita memiliki pilihan masing-masing. Kau boleh mengajakku, merayuku atau menggodaku, tetapi kau tak berhak memaksaku. Aku juga begitu. Dan, aku tidak akan pernah memaksamu untuk menjadi sepertiku. Kau adalah dirimu sendiri. Bagiku diriku sendiri, bagimu dirimu sendiri. Tak ada paksaan dalam menjadi seseorang dengan identitas tertentu, bukan?

Bila kita berbeda dalam beberapa hal, haruskan kita menyoalkannya? Berdebat atasnya? Bertarung atasnya? Memang, ada terlalu banyak perbedaan antara kau dan aku: kau berkulit hitam, aku berkulit putih. Kau Budhis & aku Muslim. Kau adalah dirimu dan aku adalah diriku. Haruskah kita memaksa untuk menjadi serupa?

Andai dunia ini serupa. Dunia ini tentu kesepian. Stagnan. Tak ada persilangan. Tak ada warna yang lain. Tak ada suara yang lain. Semua suara adalah bunyi yang sama. Setiap warna sama saja. Tak ada perbedaan. Jadi, tentu saja: tak ada harmoni. Monokrom. Membosankan, Bukan?

Tak ada yang mungkin untuk diserupakan sepenuhnya. Sebab keberagaman adalah salah satu wajah Tuhan yang menjadi manifestasi kesempurnaanya. Bila segalanya serupa, tentu meragukan bila kita harus menilai Tuhan sempurna. Dalam keserupaan tak ada kesempurnaan. Dalam ketaksempurnaan tak mungkin ada keagungan Tuhan.

Sekali lagi, tak ada yang mungkin untuk diserupakan sepenuhnya: bila kau pintar, aku bodoh, aku bisa mengejarmu dengan belajar, berguru atau bersekolah. Bila kau Kristiani aku Islam, aku bisa mempelajarinya dimana saja untuk memiliki pemahaman yang serupa pemahamanmu. Bila kau S2 aku S1, aku akan kuliah untuk jadi sama sepertimu, Namun bila kau Ambon, aku sunda, tak ada satu pun sekolah yang bisa kumasuki untuk mengubahnya, bukan? Segalanya tak mungkin diserupakan sepenuhnya. Begitu memang.

Perbedaan adalah rahmat Tuhan. Perbedaan adalah wajah kesempurnaannya. Sesungguhnya, Aku menciptakan kalian dari golongan laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kelak kamu akan saling mengenal, begitu kata Tuhanku berseru. Maka, perbedaan adalah modal, untuk saling mengenal, untuk saling memahami. Sebab bila segalanya sudah sama dan serupa, kata "perkenalan" tentu tak akan bermakna apa-apa.

Maka bila seseorang memaksamu untuk menjadi sama sepertinya, dengan mengatasnamakan agama dan Tuhanku, mari kukatakan kepadamu "ia benar-benar pembohong besar". Sebab tak ada paksaan dalam agamaku, seperti juga tak ada paksaan dalam agamamu. Bila seseorang memaksamu, memukulmu, menodongkan senjata kepadamu, katakanlah kepadanya Salam, Haleluya, Om shanti shanti om, Shalom... bukankah semua itu memiliki makna yang sama meski diucapkan dalam lidah yang berbeda?

Maka bila kita berbeda dalam banyak hal, mungkinkah perbedaan kita hanyalah perbedaan artifisial yang sesungguhnya tak berarti apa-apa? Sebab, kita tak pernah tahu, barangkali jauh sekali di dalam diri kita, kita memiliki keserupaan terdalam yang paling bermakna dihadapan Tuhan.

Bila bukan kemanusiaan kita, mungkin kemakhluk Tuhanan kita.

i LOve U daD ...

Sejak kuliah, radio merupakan salah satu teman yang selalu menemani saya ketika sedang mengerjakan tugas, belajar, maupun santai. Tidak pernah bosan rasanya mendengarkan acara-acara yang disajikan oleh berbagai macam stasiun radio.

Suatu malam, di sebuah stasiun radio, sedang berlangsung acara dimana orang-orang berbagi pengalaman hidup mereka. Perhatian saya yang semula tercurah pada tugas statistik beralih ketika seorang wanita bercerita tentang ayahnya.

Wanita ini adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana yang tinggal di pinggiran kota Jakarta. Sejak kecil ia sering dimarahi oleh ayahnya. Di mata sang ayah, tak satupun yang dikerjakan olehnya benar. Setiap hari ia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan ayahnya, namun tetap saja hanya ketidakpuasan sang ayah yang ia dapatkan.

Pada waktu ia berumur 17 tahun, tak sepatah ucapan selamat pun yang keluar dari mulut ayahnya. Hal ini membuat wanita itu semakin membenci ayahnya. Sosok ayah yang melekat dalam dirinya adalah sosok yang pemarah dan tidak memperhatikan dirinya. Akhirnya ia memberontak dan tak pernah satu hari pun ia lewati tanpa bertengkar dengan ayahnya. Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah wanita itu meninggal dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah ia ceritakan kepada siapapun kecuali pada istrinya. Walaupun merasa sedih dan kehilangan, namun di dalam diri wanita itu masih tersimpan rasa benci terhadap ayahnya.

Suatu hari ketika membantu ibunya membereskan barang-barang peninggalan almarhum, ia menemukan sebuah bingkisan yang dibungkus dengan rapi dan di atasnya tertulis "Untuk Anakku Tersayang". Dengan hati-hati diambilnya bingkisan tersebut dan mulai membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku yang telah lama ia idam-idamkan. Di samping kedua benda itu, terdapat sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna kesukaannya. Perlahan ia membuka kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada di dalamnya, yang ia kenali betul sebagai tulisan tangan ayahnya.

Ya Tuhan,
Terima kasih karena Engkau mempercayai diriku yang rendah ini untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku.

Kumohon Ya Tuhan,
Jadikan buah kasih hambaMu ini, orang yang berarti bagi sesamanya dan bagiMu.

Jangan kau berikan jalan yang lurus dan luas membentang,
Berikan pula jalan yang penuh liku dan duri, agar ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya.

Sekali lagi kumohon Ya Tuhan,
Sertailah anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh dan jadikan ia sesuai dengan kehendakMu.

Selamat ulang tahun anakku,
Doa ayah selalu menyertaimu.

Meledaklah tangis sang anak usai membaca tulisan yang terdapat dalam kartu tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Dalam pelukan ibunya, ia menceritakan semua tentang bingkisan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya. Ibu wanita itu akhirnya menceritakan bahwa ayah memang sengaja merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan keras agar sang anak menjadi wanita yang kuat, tegar dan tidak terlalu kehilangan sosok ayahnya ketika ajal menjemput akibat penyakit yang diderita

Pada akhir acara, wanita itu mengingatkan para pemirsa agar tidak selalu melihat apa yang kita lihat dengan kedua mata kita. Lihatlah juga segala sesuatu dengan mata hati kita. Apa yang kita lihat dengan kedua mata kita terkadang tidak sepenuhnya seperti apa yang sebenarnya terjadi. "Kasih seorang ayah, seorang ibu, saudara-saudara, orang-orang di sekitar kita, dan terutama kasih Tuhan dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara. Sekarang tinggal bagaimana kita menerima, menyerap, mengartikan dan membalas kasih sayang itu", kata wanita tersebut menutup acara pada malam hari itu.

Cerita ini dikirim dari pesan di FB